Kamis, 14 April 2016

Cerpen @aprifa.em



“ Catatan 1001 Aroma Hitam”
Oleh : Aprifa Eling Mayuka (SMANESA)

Sisa muntahan air hujan terbiaskan oleh cahaya sang mentari yang perlahan mulai nampak, menyulapnya menjadi lengkungan pelangi nan elok. Tersembunyi dibaliknya sesosok perempuan berhijab berkacamata bundar hitam. Cara berpakaiannya sungguh melukiskan perempuan berduit, ditambah lagi si hitam mengkilat Ferrari tepat terhenti disebelahnya. Penasaran, kaki ini mulai beranjak dari tempat persembunyianku pada air hujan yang terus mengalir. Sesekali ku mencoba menyebrangi jalan, menyusul perempuan itu. Sesaat kemudian berbaliklah perempuan itu, dan menatap kearahku. Dinginnya air hujan semakin melilit tubuhku, setelah kutersadar bahwa dia adalah diriku sendiri. Namun, entah kenapa tiba-tiba leherku terasa tersengat oleh bara. Gumpalan asap tak diharapkan juga masuk menusuk setiap syaraf dihidungku. Aku pun lekas beranjak lari dan mencoba mengeluarkan bau itu dari mulutku. Sesaat setelahnya aku mulai tersadar diriku telah lenyap terbawa angin tidur di kantin sekolah kebanggaanku SMAN 1 Jakarta Selatan.
“Mayukha… Mayukha... Meski kau ni sedang tertidur pulas. Ternyata syarafmu tak pernah istirahat. Radius 1 meter aku tak menyangka hidung kau ni, dapat mendeteksi pekatnya aroma kopi Kiki”, ujar Wamena, cewek keturunan Sumatra yang bangga menyandang nama sebuah kota di Papua.
“Sudahlah. Aku harus pulang. Mama pasti menungguku”, sedikit ku sodorkan wajah kesal dengan kelakuan Kiki, yang aku yakin dengan sengaja menyandingkanku dengan kopi itu.
“Hah, kau tak pulang karna marah dengan Kiki ? Hah lihat dia, lucu kali”
***
Damai rasanya tiap kali mulut ini masih sanggup membaca indahnya setiap firman Allah Swt, yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Pujian Syukur kepada-Nya tak juga terhenti melontar dari mulut ini. Terdiam sejenak diriku setelah melihat sang pengatur jadwal sebulan lagi menunjuk angka 7 Juli 2015. Pusing kembali mengitari kepalaku “Kado apa lagi yang pantas kuberikan pada Kiki ?” batinku.
            Dering pesan ponselku berhasil mengusik lamunanku. Sebuah undangan penyambutan penuaan usia kakak Kiki yang kuterima. Namun, melotot mataku melihat kalimat akhir dari pesan singkat itu “Tempat = Resto Coffe Bar”, meski masih dapat digolongkan jenis resto, namun peminatnya lebih banyak dari kalangan yang berniat memuaskan hidung dan mulutnya terhadap kopi. Serta mereka menjadi salah satu yang harus kutanda kutipkan. Tak terniang sebiji sawipun aku akan mendaratkan kaki ku disana. Hanya mengirimkan hadiah dan sebuah ucapan selamat ulang tahun yang tertera dalam lembaran pikirku.
Sampai bengkak sudah jemari ini menekan tombol telphon untuk menghubungi Kiki. Mencoba membisikkan secuil kata maaf atas ketidakhadiranku. Namun hasilnya nihil. Ya, memang retoris sekali hal ini kulakukan karna pasti dia sedang sibuk menyiapkan pesta. Sebuah pesan e-mail, bbm, dan pesan singkat telah kukirim. Semoga saja tak mengundang kecewanya.
***

            Sengatan panas semangat pagi telah menyelimuti seluruh tubuhku, mengantarkanku pada keyakinan menyerap pengetahuan untuk masa depan.
            Tak sampai setengah jam, hidung ini kembali menghirup aroma ilmu yang berterbangan leluasa. Disudut ruang musik, Kiki dan Wamena telah bersarang. Kuberlari kencang menghampiri mereka. Sapaan termanis pagi ini, hanya kupersembahkan pada kedua pemberi bumbu hidupku. Tapi, entah kenapa binar wajah Kiki sekejap merah membara. Dia berbalik kearahku seraya berkata “Lo, bukan sahabat gue lagi”. Pernyataan itu bagaikan sebuah peluru yang membidik masuk kejantungku. Menghentikannya berdetak seketika. Derasnya banjir eluh biru tak dapat kubentengi. “Dia akan segera membaik”, ucap Wamena yang juga beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Ku hanya bisa terjatuh pilu tak berdaya di samping pohon kaktus berduri. Sungguh aku tak kuasa hati menyaksikan mereka marah didepanku. Entah apa yang terjadi.
            7 hari berlalu sudah. Tak ada tawa, tak ada cerita canda, hanya raut kusam yang tertera. Setiap detik waktuku tanpa bicara. Lembaran kertas penenang sementara menjadi tambatan rasaku yang tersisa.
“Kalian tak bicara sepekan. Kata maaf kau tak dapat dia terima. Jika ingin membaik, datanglah di kedai kopi favorit Kiki jam 3 sore. Minumlah obat alergimu sebelum datang kesana. Disini kekuatan batin kalian diuji. Percayalah dia masih menyayangimu bahkan mencintaimu”. Perkataan Wamena bagaikan selimut hangat dalam dinginku yang mencekam. Ini saatnya kesetiaanku diuji.
            Didepan kedai kopi ini untuk pertama kalinya kembali aku melahap benda kecil sepahit maja ini. Semakin mendekat, tak bisa kupungkiri keringat dingin telah membasahi seluruh baju yang kukenakan. Cekikan takut mulai menekan leherku. Serasa diriku akan segera masuk dalam gua naga jelmaan si hitam itu. Helaan nafas panjang kucoba hembuskan perlahan, semoga saja dapat sedikit memperlambat tempo detak jantungku. Terlihat Kiki dan Wamena duduk santai disudut kanan kedai itu. Telah tersuguh dihadapan mereka dua cangkir surga namun neraka bagiku.
“Hai”, sapa pertamaku penuh kegugupan.
“Aku tak menyangka kau akhirnya datang Mayukha”, ucap Wamena. Mendengar namaku tiba-tiba semprotan kopi meluncur dari mulut Kiki.
“Apa yang kamu lakukan disini ? Menghinaku ? Memandang rendah diriku ? Seorang Ustadzah sepertimu tak berhak datang ketempat ini. Sejak malam itu, aku berjanji tak akan melihat wajahmu lagi. Baik, kamu besar di keluarga yang kental agama. Jauh berbeda denganku, yang besar di keluarga broken home. Setelah 10 tahun kita bersama, kini kuat bukti telah membedakan kita. Mengapa masih disini? Pergi sana ! Bukankah ini jadwalmu mengaji ?”, bentak Kiki.
“Apa maksudmu Ki, aku tak menyangka perkatanmu sekejam itu. Aku datang untuk minta maaf. Maafkan aku Ki, maaf, aku mohon maafkanlah”. Tak sadar air itu kini tertuang kembali. Meluap dalam harap namun apa yang ku dapat. Merah sudah namaku dalam benaknya.
“Terserah !”. Ucap terakhirnya bagaikan samurai yang menggores setiap sisi kulitku. Dia beranjak pergi melupakanku seorang diri.
***
            Pagipun terasa gelap, entah kenapa dewa pagi tak sudi melihatkan senyumnya, awan hitam yang tertera di langit biru sembari menyumbangkan tangisnya untukku. Malam indahpun kini bertambah kelam. Hariku jauh lebih hitam dari pada kopi. Sampai-sampai manis milk shake tak dapat mengalahkan kepahitan kopi. Berjam-jam kuberdiam diri memutar otak mencari solusi. Lembaran album berdebu mencuri perhatianku. Album kenangan masa kecilku bersama Kiki dan Wamena. Disana terukir jelas kesucian tiga sahabat, namun kini telah ternodai oleh tingkahku sendiri. Secarik kertas pelangi yang kutemukan disana. Iya, aku ingat. Sebuah harapan Kiki di masa depannya. Masih tertulis jelas angannya “Aku ingin mendirikan sebuah Kedai Kopi diumurku yang ke 17 tahun”. Seketika bulu emas menyuratkan di pikirku solusi yang tepat.
            Bergegas kumengais seluruh isi kamar untuk mencari buku rekeningku. Si kecil berduit itu akan menjadi senjataku. Tak terlalu banyak nominalnya hanya “Rp 6,500,000,-“, hasil dari penjualan novel pertamaku minggu lalu. Tak berpikir panjang, akupun langsung meluncur kerumah Wamena. Korelasinya dengan para peminjam kios sangat luas, tak heran karna dia anak juragan rumah kos dan kios.
            Dengan kesaktian ucapan bismillah, mulai kuceritakan maksud dan tujuanku pada Wamena. “Konyol kali kau May. Tapi tak apalah, bukan kau saja yang terlibat. Aku juga. Marilah bergerak cepat”. Uluran tangan Wamena bagaikan tali yang mengangkatku dari lubang tikus kepiluan yang mencekam.
 Tak berhenti kedua tangan kami melingkari setiap iklan kios dalam koran. Mata kami terus melotot jeli melihat setiap iklan yang tertuang.  
            Tak hanya berdiam diri dikamar Wamena. Mobil Ferrari kebanggaanku menjadi saksi pencarian kios terjangkau, nyaman, dan setrategis di seluruh Jakarta Selatan. Banyak tempat yang kami datangi dalam 2 hari ini. Akhirnya tempat strategis terakhir menjadi sasaran yang tepat. Meski uang kami hanya cukup menyewa untuk triwulan kedepan, tak apalah.
            “Baik. Tempat telah tersedia. Kini tinggal desain tempatnya. Aku ingin tema hitam putih. Dengan sentuhan elegan di dindingnya tapi masih berbau budaya Jawa di furniturnya. Iya itu dia, perpaduan yang sempurna. Oh, ya Na, kertas kwitansi kiosnya dimana ?”. Mendengar pertanyaanku Wamena langsung melotot kearahku. Kami saling berbalas melotot, yang mengisyaratkan datangnya bencana besar. “Mayukha, Mayukha. Turun. Ayah mau bicara !”, nah itu yang kutakutkan. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menemui Ayah.
“Apa-apaan ini ? Sewa kios untuk kedai kopi ? Mau jadi anak apa kamu ini ? Kurang, Ayah dan Mama membiayaimu sekolah ? Mau jadi anak liar ? Darimana kamu mendapat uang sebanyak ini ?”. Terlihat jelas kemarahan Ayah kepadaku.
“Maaf yah, Mama telah tahu semuanya. May juga yakin Ayah tahu penyebab May melakukan ini. Yah, May tak mau mengulang penyesalan yang pernah Ayah buat terhadap om Rizal. Sahabat itu segalanya yah. Permisi yah”. Bara api kemarahan dalam wajah Ayah langsung mereda mendengar aku menyebut nama om Rizal, sahabat terbaik Ayah yang sampai detik ini saling tak bicara karena kekhilafan Ayah masa lalu.
            Seharian penuh aku dan Wamena menyulap kios ini menjadi kedai kopi yang bernuansa Internasional namun kental budaya Jawa. Ku kuatkan tangan ini meracik setiap bahan berdasar kopi dihadapanku untuk menciptakan menu baru. Mempersiapkan pembukaan kedai ini esok hari. Tepat dihari ulang tahun Kiki yang ke 17. Gemetar sudah tubuh ini, satu persatu jemariku memutih pucat. Kepalaku terasa berat. Perutku berkecimuk tak karuan. Hidungku telah susah mengembang kempis. Namun harus kukuatkan demi Kiki, sahabat tercintaku.
***
            17 Juli 2015, akan menjadi hari persatuan kita bertiga kembali. Sebuah panggilan telepon undangan dari Wamena kepada Kiki telah ia dendangkan. Tak sampai 10 menit dari itu, suara motor Kiki telah menapak di halaman kedai kecil ini. Perlahan aku dan Wamena berjalan keluar dari dalam kedai sembari memegang kue ulang tahun. Hitungan 1,2,3, iya, “Happy Birthday Kiki” sorak bahagia seluruh keluarga Kiki dan teman sekolah telah siap memeriahkan acara. Terkejut semua ketika lampion pelangi telah menyala, alunan melodi lagu persahabatan telah berkumandang. Kuberanikan diri keluar dari persembunyianku dibelakang Wamena sembari menyuguhkan kue kepadanya. “Selamat Ulang Tahun sahabatku. Kedai ini menjadi bukti betapa aku menyayangimu. Hampir meledak kepalaku memikirkan cara agar membuatmu kembali kepelukanku Ki. Ini adalah impianmu 10 tahun yang lalu. Maafkan aku Ki”. Sebuah pelukan hangat Kiki meluncur kearahku. Seluruh kemarahan, penyesalan, kesetiaan, dan pengorbanan tertuang dalam setiap butir linangan air mata. Sedikit dalam ketidaksadaran aku dapat merasakan air mata Kiki, menetes membasahi pundakku.  Perlahan hidung ini tak kuasa lagi membentengi dobrakan gerombol aroma itu.  Kakiku juga tak kuasa menopang berat badanku lagi. Perlahan akupun mulai melemas dan tergeletak jatuh dipangkuan Kiki. ***
            Semuanya terasa berputar aku bagaikan berada diputaran permainan tikus yang tak berhenti didalamnya. Membuatku pusing tak karuan. Dalam lirikan ketakutan, ternyata aku masih kuat melihat kenyataan. Kupikir diriku telah sampai batas waktu, namun Tuhan masih menghembuskan nafasku. Disisi kanan tempat tidurku, Mama senantiasa terus menguntaikan do’a dalam setiap munajad sujudnya akan keselamatanku. Disebelah kiri, para sahabatku menggetarkan dzikir disetiap detak jantungnya.
“Ma, Yah. Maafkan aku”, ucapku pelan.
“Mayukha...tak apa nak. Kamu telah melakukan hal yang benar, sayang”
“May, maafkan keegoisanku. Harusnya aku tak pernah memaksamu menyukai aroma kopi. Harusnya aku sadar, hal itu bisa saja merenggut nyawamu”
“Yang lalu biarlah tersambar derasnya arus waktu. Biarlah hancur tergerus usangnya zaman. Aku bahagia, kita berkumpul bertiga lagi. Saling berpegangan dalam setiap derap langakah kaki berjalan menapaki jalan terjal kehidupan. Terbang bersama dinginnya angin malam. Dan setia dalam setiap perjanjian”
***
“Ini, kuberi nama The black coffee, menandakan hidup sebuah bunga yang membusuk, baunya menyelundup menghantam hidung. Ini The moccacino, saat ini bunga yang busuk telah berguna sebagai penyubur tanaman lain. The coffee with full milk shake, telah ada harapan untuk tumbuh meninggi mengepakkan setiap daunnya, seakan ingin terbang tinggi bersama sang elang. Yang ini The full of valentino coffee, saat ini bunga telah mengibaskan harumnya. Menarik sang burung membawa benihnya berkelana menembus pekatnya udara. Meluncur menuju keindahan dunia, dan menetap di lingkungan penuh harap akan kelestariannya. Keempat varian coffee untuk sahabatku pecinta si hitam pembawa perubahan. Yang tiada berguna tiap harinya tanpa awal menangkap aromanya”
            Raflesia Arnoldipun busuk, namun banyak penggemarnya. Sang temu hitam pahit mematikan. Jika mengalir di leher akan bergeliat mengusik, namun berkhasiat hebat. Bukan bendanya yang salah. Tapi perlakuannya yang harus dirubah. Bangga rasanya tak sampai triwulan kedai yang kami namai
“1001 Aroma Hitam”, banyak diserbu pendatang dari berbagai runtutan usia. Tak disangka sesuatu paling kubenci, tersihir menjadi gudang uangku.    -Sekian-  
Oke kawan. Tunggu cerita selanjutnya ya, ! @aprifa.em

Tidak ada komentar:

Posting Komentar