“
Catatan 1001 Aroma Hitam”
Oleh : Aprifa Eling
Mayuka (SMANESA)
Sisa muntahan
air hujan terbiaskan oleh cahaya sang mentari yang perlahan mulai nampak,
menyulapnya menjadi lengkungan pelangi nan elok. Tersembunyi dibaliknya sesosok
perempuan berhijab berkacamata bundar hitam. Cara berpakaiannya sungguh
melukiskan perempuan berduit, ditambah lagi si hitam mengkilat Ferrari tepat
terhenti disebelahnya. Penasaran, kaki ini mulai beranjak dari tempat
persembunyianku pada air hujan yang terus mengalir. Sesekali ku mencoba
menyebrangi jalan, menyusul perempuan itu. Sesaat kemudian berbaliklah
perempuan itu, dan menatap kearahku. Dinginnya air hujan semakin melilit
tubuhku, setelah kutersadar bahwa dia adalah diriku sendiri. Namun, entah
kenapa tiba-tiba leherku terasa tersengat oleh bara. Gumpalan asap tak
diharapkan juga masuk menusuk setiap syaraf dihidungku. Aku pun lekas beranjak
lari dan mencoba mengeluarkan bau itu dari mulutku. Sesaat setelahnya aku mulai
tersadar diriku telah lenyap terbawa angin tidur di kantin sekolah kebanggaanku
SMAN 1 Jakarta Selatan.
“Mayukha… Mayukha... Meski kau ni
sedang tertidur pulas. Ternyata syarafmu tak pernah istirahat. Radius 1 meter
aku tak menyangka hidung kau ni, dapat mendeteksi pekatnya aroma kopi Kiki”,
ujar Wamena, cewek keturunan Sumatra yang bangga menyandang nama sebuah kota di
Papua.
“Sudahlah. Aku harus pulang. Mama
pasti menungguku”, sedikit ku sodorkan wajah kesal dengan kelakuan Kiki, yang
aku yakin dengan sengaja menyandingkanku dengan kopi itu.
“Hah, kau tak pulang karna marah
dengan Kiki ? Hah lihat dia, lucu kali”
***
Damai rasanya
tiap kali mulut ini masih sanggup membaca indahnya setiap firman Allah Swt,
yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Pujian Syukur kepada-Nya tak juga
terhenti melontar dari mulut ini. Terdiam sejenak diriku setelah melihat sang
pengatur jadwal sebulan lagi menunjuk angka 7 Juli 2015. Pusing kembali
mengitari kepalaku “Kado apa lagi yang pantas kuberikan pada Kiki ?” batinku.
Dering
pesan ponselku berhasil mengusik lamunanku. Sebuah undangan penyambutan penuaan
usia kakak Kiki yang kuterima. Namun, melotot mataku melihat kalimat akhir dari
pesan singkat itu “Tempat = Resto Coffe Bar”, meski masih dapat digolongkan
jenis resto, namun peminatnya lebih banyak dari kalangan yang berniat memuaskan
hidung dan mulutnya terhadap kopi. Serta mereka menjadi salah satu yang harus
kutanda kutipkan. Tak terniang sebiji sawipun aku akan mendaratkan kaki ku
disana. Hanya mengirimkan hadiah dan sebuah ucapan selamat ulang tahun yang
tertera dalam lembaran pikirku.
Sampai bengkak
sudah jemari ini menekan tombol telphon untuk menghubungi Kiki. Mencoba
membisikkan secuil kata maaf atas ketidakhadiranku. Namun hasilnya nihil. Ya,
memang retoris sekali hal ini kulakukan karna pasti dia sedang sibuk menyiapkan
pesta. Sebuah pesan e-mail, bbm, dan pesan singkat telah kukirim. Semoga saja
tak mengundang kecewanya.
***
Sengatan
panas semangat pagi telah menyelimuti seluruh tubuhku, mengantarkanku pada keyakinan
menyerap pengetahuan untuk masa depan.
Tak
sampai setengah jam, hidung ini kembali menghirup aroma ilmu yang berterbangan
leluasa. Disudut ruang musik, Kiki dan Wamena telah bersarang. Kuberlari
kencang menghampiri mereka. Sapaan termanis pagi ini, hanya kupersembahkan pada
kedua pemberi bumbu hidupku. Tapi, entah kenapa binar wajah Kiki sekejap merah
membara. Dia berbalik kearahku seraya berkata “Lo, bukan sahabat gue lagi”.
Pernyataan itu bagaikan sebuah peluru yang membidik masuk kejantungku.
Menghentikannya berdetak seketika. Derasnya banjir eluh biru tak dapat
kubentengi. “Dia akan segera membaik”, ucap Wamena yang juga beranjak pergi
meninggalkanku sendiri. Ku hanya bisa terjatuh pilu tak berdaya di samping
pohon kaktus berduri. Sungguh aku tak kuasa hati menyaksikan mereka marah didepanku.
Entah apa yang terjadi.
7
hari berlalu sudah. Tak ada tawa, tak ada cerita canda, hanya raut kusam yang
tertera. Setiap detik waktuku tanpa bicara. Lembaran kertas penenang sementara
menjadi tambatan rasaku yang tersisa.
“Kalian tak bicara sepekan. Kata maaf
kau tak dapat dia terima. Jika ingin membaik, datanglah di kedai kopi favorit
Kiki jam 3 sore. Minumlah obat alergimu sebelum datang kesana. Disini kekuatan
batin kalian diuji. Percayalah dia masih menyayangimu bahkan mencintaimu”.
Perkataan Wamena bagaikan selimut hangat dalam dinginku yang mencekam. Ini
saatnya kesetiaanku diuji.
Didepan
kedai kopi ini untuk pertama kalinya kembali aku melahap benda kecil sepahit
maja ini. Semakin mendekat, tak bisa kupungkiri keringat dingin telah membasahi
seluruh baju yang kukenakan. Cekikan takut mulai menekan leherku. Serasa diriku
akan segera masuk dalam gua naga jelmaan si hitam itu. Helaan nafas panjang
kucoba hembuskan perlahan, semoga saja dapat sedikit memperlambat tempo detak
jantungku. Terlihat Kiki dan Wamena duduk santai disudut kanan kedai itu. Telah
tersuguh dihadapan mereka dua cangkir surga namun neraka bagiku.
“Hai”, sapa pertamaku penuh
kegugupan.
“Aku tak menyangka kau akhirnya
datang Mayukha”, ucap Wamena. Mendengar namaku tiba-tiba semprotan kopi
meluncur dari mulut Kiki.
“Apa yang kamu lakukan disini ?
Menghinaku ? Memandang rendah diriku ? Seorang Ustadzah sepertimu tak berhak
datang ketempat ini. Sejak malam itu, aku berjanji tak akan melihat wajahmu
lagi. Baik, kamu besar di keluarga yang kental agama. Jauh berbeda denganku,
yang besar di keluarga broken home. Setelah 10 tahun kita bersama, kini kuat
bukti telah membedakan kita. Mengapa masih disini? Pergi sana ! Bukankah ini
jadwalmu mengaji ?”, bentak Kiki.
“Apa maksudmu Ki, aku tak menyangka
perkatanmu sekejam itu. Aku datang untuk minta maaf. Maafkan aku Ki, maaf, aku
mohon maafkanlah”. Tak sadar air itu kini tertuang kembali. Meluap dalam harap
namun apa yang ku dapat. Merah sudah namaku dalam benaknya.
“Terserah !”. Ucap terakhirnya
bagaikan samurai yang menggores setiap sisi kulitku. Dia beranjak pergi
melupakanku seorang diri.
***
Pagipun
terasa gelap, entah kenapa dewa pagi tak sudi melihatkan senyumnya, awan hitam
yang tertera di langit biru sembari menyumbangkan tangisnya untukku. Malam
indahpun kini bertambah kelam. Hariku jauh lebih hitam dari pada kopi.
Sampai-sampai manis milk shake tak dapat mengalahkan kepahitan kopi. Berjam-jam
kuberdiam diri memutar otak mencari solusi. Lembaran album berdebu mencuri
perhatianku. Album kenangan masa kecilku bersama Kiki dan Wamena. Disana
terukir jelas kesucian tiga sahabat, namun kini telah ternodai oleh tingkahku
sendiri. Secarik kertas pelangi yang kutemukan disana. Iya, aku ingat. Sebuah
harapan Kiki di masa depannya. Masih tertulis jelas angannya “Aku ingin mendirikan sebuah Kedai Kopi
diumurku yang ke 17 tahun”. Seketika bulu emas menyuratkan di pikirku
solusi yang tepat.
Bergegas
kumengais seluruh isi kamar untuk mencari buku rekeningku. Si kecil berduit itu
akan menjadi senjataku. Tak terlalu banyak nominalnya hanya “Rp 6,500,000,-“,
hasil dari penjualan novel pertamaku minggu lalu. Tak berpikir panjang, akupun
langsung meluncur kerumah Wamena. Korelasinya dengan para peminjam kios sangat
luas, tak heran karna dia anak juragan rumah kos dan kios.
Dengan
kesaktian ucapan bismillah, mulai kuceritakan maksud dan tujuanku pada Wamena.
“Konyol kali kau May. Tapi tak apalah, bukan kau saja yang terlibat. Aku juga.
Marilah bergerak cepat”. Uluran tangan Wamena bagaikan tali yang mengangkatku
dari lubang tikus kepiluan yang mencekam.
Tak berhenti kedua tangan kami melingkari
setiap iklan kios dalam koran. Mata kami terus melotot jeli melihat setiap
iklan yang tertuang.
Tak
hanya berdiam diri dikamar Wamena. Mobil Ferrari kebanggaanku menjadi saksi
pencarian kios terjangkau, nyaman, dan setrategis di seluruh Jakarta Selatan. Banyak
tempat yang kami datangi dalam 2 hari ini. Akhirnya tempat strategis terakhir
menjadi sasaran yang tepat. Meski uang kami hanya cukup menyewa untuk triwulan
kedepan, tak apalah.
“Baik.
Tempat telah tersedia. Kini tinggal desain tempatnya. Aku ingin tema hitam
putih. Dengan sentuhan elegan di dindingnya tapi masih berbau budaya Jawa di
furniturnya. Iya itu dia, perpaduan yang sempurna. Oh, ya Na, kertas kwitansi
kiosnya dimana ?”. Mendengar pertanyaanku Wamena langsung melotot kearahku.
Kami saling berbalas melotot, yang mengisyaratkan datangnya bencana besar.
“Mayukha, Mayukha. Turun. Ayah mau bicara !”, nah itu yang kutakutkan. Kulangkahkan
kakiku dengan cepat menemui Ayah.
“Apa-apaan ini ? Sewa kios untuk
kedai kopi ? Mau jadi anak apa kamu ini ? Kurang, Ayah dan Mama membiayaimu
sekolah ? Mau jadi anak liar ? Darimana kamu mendapat uang sebanyak ini ?”.
Terlihat jelas kemarahan Ayah kepadaku.
“Maaf yah, Mama telah tahu
semuanya. May juga yakin Ayah tahu penyebab May melakukan ini. Yah, May tak mau
mengulang penyesalan yang pernah Ayah buat terhadap om Rizal. Sahabat itu
segalanya yah. Permisi yah”. Bara api kemarahan dalam wajah Ayah langsung
mereda mendengar aku menyebut nama om Rizal, sahabat terbaik Ayah yang sampai
detik ini saling tak bicara karena kekhilafan Ayah masa lalu.
Seharian
penuh aku dan Wamena menyulap kios ini menjadi kedai kopi yang bernuansa
Internasional namun kental budaya Jawa. Ku kuatkan tangan ini meracik setiap
bahan berdasar kopi dihadapanku untuk menciptakan menu baru. Mempersiapkan
pembukaan kedai ini esok hari. Tepat dihari ulang tahun Kiki yang ke 17.
Gemetar sudah tubuh ini, satu persatu jemariku memutih pucat. Kepalaku terasa
berat. Perutku berkecimuk tak karuan. Hidungku telah susah mengembang kempis.
Namun harus kukuatkan demi Kiki, sahabat tercintaku.
***
17
Juli 2015, akan menjadi hari persatuan kita bertiga kembali. Sebuah panggilan
telepon undangan dari Wamena kepada Kiki telah ia dendangkan. Tak sampai 10
menit dari itu, suara motor Kiki telah menapak di halaman kedai kecil ini.
Perlahan aku dan Wamena berjalan keluar dari dalam kedai sembari memegang kue
ulang tahun. Hitungan 1,2,3, iya, “Happy Birthday Kiki” sorak bahagia seluruh
keluarga Kiki dan teman sekolah telah siap memeriahkan acara. Terkejut semua
ketika lampion pelangi telah menyala, alunan melodi lagu persahabatan telah
berkumandang. Kuberanikan diri keluar dari persembunyianku dibelakang Wamena
sembari menyuguhkan kue kepadanya. “Selamat Ulang Tahun sahabatku. Kedai ini
menjadi bukti betapa aku menyayangimu. Hampir meledak kepalaku memikirkan cara
agar membuatmu kembali kepelukanku Ki. Ini adalah impianmu 10 tahun yang lalu.
Maafkan aku Ki”. Sebuah pelukan hangat Kiki meluncur kearahku. Seluruh
kemarahan, penyesalan, kesetiaan, dan pengorbanan tertuang dalam setiap butir
linangan air mata. Sedikit dalam ketidaksadaran aku dapat merasakan air mata Kiki,
menetes membasahi pundakku. Perlahan
hidung ini tak kuasa lagi membentengi dobrakan gerombol aroma itu. Kakiku juga tak kuasa menopang berat badanku
lagi. Perlahan akupun mulai melemas dan tergeletak jatuh dipangkuan Kiki. ***
Semuanya
terasa berputar aku bagaikan berada diputaran permainan tikus yang tak berhenti
didalamnya. Membuatku pusing tak karuan. Dalam lirikan ketakutan, ternyata aku
masih kuat melihat kenyataan. Kupikir diriku telah sampai batas waktu, namun
Tuhan masih menghembuskan nafasku. Disisi kanan tempat tidurku, Mama senantiasa
terus menguntaikan do’a dalam setiap munajad sujudnya akan keselamatanku.
Disebelah kiri, para sahabatku menggetarkan dzikir disetiap detak jantungnya.
“Ma, Yah. Maafkan aku”, ucapku
pelan.
“Mayukha...tak apa nak. Kamu telah
melakukan hal yang benar, sayang”
“May, maafkan keegoisanku. Harusnya
aku tak pernah memaksamu menyukai aroma kopi. Harusnya aku sadar, hal itu bisa
saja merenggut nyawamu”
“Yang lalu biarlah tersambar
derasnya arus waktu. Biarlah hancur tergerus usangnya zaman. Aku bahagia, kita
berkumpul bertiga lagi. Saling berpegangan dalam setiap derap langakah kaki
berjalan menapaki jalan terjal kehidupan. Terbang bersama dinginnya angin
malam. Dan setia dalam setiap perjanjian”
***
“Ini, kuberi nama The black coffee, menandakan hidup
sebuah bunga yang membusuk, baunya menyelundup menghantam hidung. Ini The moccacino, saat ini bunga yang busuk
telah berguna sebagai penyubur tanaman lain. The coffee with full milk shake, telah ada harapan untuk tumbuh meninggi
mengepakkan setiap daunnya, seakan ingin terbang tinggi bersama sang elang.
Yang ini The full of valentino coffee,
saat ini bunga telah mengibaskan harumnya. Menarik sang burung membawa benihnya
berkelana menembus pekatnya udara. Meluncur menuju keindahan dunia, dan menetap
di lingkungan penuh harap akan kelestariannya. Keempat varian coffee untuk
sahabatku pecinta si hitam pembawa perubahan. Yang tiada berguna tiap harinya
tanpa awal menangkap aromanya”
Raflesia
Arnoldipun busuk, namun banyak penggemarnya. Sang temu hitam pahit mematikan.
Jika mengalir di leher akan bergeliat mengusik, namun berkhasiat hebat. Bukan
bendanya yang salah. Tapi perlakuannya yang harus dirubah. Bangga rasanya tak
sampai triwulan kedai yang kami namai
“1001 Aroma Hitam”, banyak diserbu
pendatang dari berbagai runtutan usia. Tak disangka sesuatu paling kubenci,
tersihir menjadi gudang uangku. -Sekian-
Oke kawan. Tunggu cerita selanjutnya ya, ! @aprifa.em
Tidak ada komentar:
Posting Komentar